Sejarah Kenegerian Simpang Ulim

Wilayah Simpang Ulim menjadi cukup penting setelah kedatangan seorang T. Moeda Nyak Malim, Penduduk asli Aceh yang berasal dari Mukim XXVI, yang pergi ke Pantai Timur Aceh untuk membuka perkebunan lada Atas Perintah Sultan Aceh. T. Moeda Nyak Malim tiba di Simpang Ulim sekitar tahun 1860 di Kuala Simpang Ulim. Segera setelah mulai mengolah lahan dan berhasil, T. Moeda Nyak Malim menikah dengan putri kepala kampung Lho Nibong. Setelah menikah dengan putri kepala kampung, T. Moeda Nyak Malim mengambil alih pemerintahan wilayah tersebut. Akibat perang di Aceh Besar, jumlah penduduk di Simpang Ulim meningkat pesat, karena banyak penduduk Mukim XXVI mengungsi dan menetap di Simpang Ulim.

Pada saat Belanda melakukan ekspedisi di Pesisir Timur Aceh, T. Moeda Nyak Malim sedang memimpin Kenegerian Simpang Ulim. T. Moeda Nyak Malim tidak mau tunduk terhadap tentara Kolonial. Pada akhirnya, melalui sebuah penahlukkan, kenegerian Simpang Ulim dinyatakkan tahluk dan pemimpin kenegerian Simpang Ulim digantikan oleh T. Moeda Lamkoeta, salah satu Peutoeha-Ampat (1876).

Kota Pelabuhan Tuha, Simpang Ulim

Monumen kota pelabuhan pertama Kenegerian Simpang Ulim terletak di Desa Keude Tuha, Kecamatan Simpang Ulim.  Menurut informasi yang tertulis pada monument kota Pelabuahan dan dikuatkan dengan keterangan informaan setempat, Kota Pelabuhan Simpang Ulim didirikan tahun 1880. Pada tahun 1880, seorang pengusaha lada kaya di pesisir timur bernama T. Moeda Nja Malim membangun pelabuhan di Keude Tuha, Simpang Ulim. Pelabuhan tersebut menjadi pusat aktivitas perdagangan, terutama lada, yang penting bagi kenegerian Simpang Ulim.

Selain T. Moeda Nja Malim, sahabatnya, Tengku Paya, juga merupakan tokoh penting dalam sejarah pelabuhan Keude Tuha. Sebagai seorang pengusaha lada yang sukses, Tengku Paya juga merupakan delegasi ke-9 yang diutus ke Penang, Malaysia. Kedua tokoh ini menjadi simbol kejayaan perdagangan lada di daerah tersebut, serta memperkuat hubungan perdagangan antara Keude Tuha dan Penang.

Pembangunan pelabuhan tidak hanya melibatkan infrastruktur penunjang seperti tempat sandar perahu dan tongkang, tetapi juga menginspirasi pembangunan tempat-tempat usaha dan benteng-benteng pertahanan. Di sekitar pelabuhan, berdiri berbagai kedai yang melayani kebutuhan para pelaut dan pedagang, yang sekarang telah menjadi toko-toko modern. Selain itu, untuk menjaga keamanan dari ancaman serbuan Belanda, dibangunlah benteng-benteng pertahanan di sekitar pelabuhan. Daerah di sekitar pelabuhan yang disebut Lamkuta, yang kini menjadi sebuah dusun dalam desa Keude Tuha, menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pertahanan yang penting bagi wilayah tersebut.

Sejarah pelabuhan Keude Tuha di Simpang Ulim adalah cerminan dari Pembangunan peradaban hasil perdagangan lada di masa lalu. Kisah tentang Tengku Nyak Malem, Tengku Paya, dan pembangunan infrastruktur pelabuhan tidak hanya mencerminkan keberanian dan kebijaksanaan para pengusaha lokal, tetapi juga menunjukkan pentingnya perdagangan maritim dalam membangun dan memperkuat hubungan antarbudaya serta ekonomi di wilayah tersebut.

Monumen kota pelabuhan pertama Kenegerian Simpang Ulim, yang kini berfungsi sebagai Meunasah, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Lantai atas Monumen kota pelabuhan tersebut menjadi tempat untuk menjalankan ibadah shalat lima waktu bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Sementara lantai dasarnya menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat, tempat berkumpulnya orang-orang untuk berbagai kegiatan dan interaksi.

Gallery

Lokasi

Tags

Bagikan