Makam Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah, pendiri Kerajaan Bandar Khalifah Perlak, terletak di Dusun Badar Khalifah, Desa Bandrong, Kecamatan Perlak, Kabupaten Aceh Timur. Kemukiman wilayah ini bernama Bandar Khalifah, yang membawahi delapan desa.
Makam Sultan memiliki posisi penting dalam kehidupan sosial dan agama masyarakat setempat. Orang-orang dari berbagai daerah sering datang ke makam untuk melepaskan hajat atau berdoa. Dalam satu tahun, setidaknya ada tiga kenduri yang diadakan di lokasi makam. Kenduri tersebut adalah Kenduri 1 Muharam untuk memperingati wafatnya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah, Kenduri blang, dan Kenduri Jerat. Dalam pelaksanaan kenduri, hanya pada satu Muharram di ceritakan tentang sejarah pendiri dan berdirinya kesultanan Perlak. Pelaksanaan kegiatan kenduri di makam Sultan perlak telah berlangsung sejak lama dan turun temurun sehingga menjadi tradisi yang mengikat masyarakat dengan warisan sejarah dan spiritualnya.
Pada masa lampau Kesultanan Bandar Khalifah Perlak memiliki luas mencakup wilayah dari Kuala Beukah hingga Semanah Jaya (Makam Nurul A’la), terhubung melalui aliran Sungai Perlak. Sungai ini merupakan jalur transportasi utama pada masa itu.
Bandar kesultanan perlak yang menopang kehidupan perdagangan pada masa itu adalah Kuala Perlak. Kuala Perlak merupakan salah satu peninggalan pelabuhan perdagangan yang informasinya diketahui dari catatan Marco Polo dan Ibnu Battutah. Marco Polo, yang berhenti di Perlak pada tahun 1292 dalam perjalanan pulang ke Venesia, menggambarkan penduduk pertama di Perlak sebagai “sebagian besar penyembah berhala, tetapi banyak dari mereka yang tinggal di kota-kota pelabuhan telah masuk agama Mahomet, oleh para saudagar Saracen yang terus-menerus mengunjungi mereka”.
Menurut Marco Polo, penduduk Perlak ketika itu telah diislamkan oleh pedagang-pedagang. Kuala Perlak waktu itu banyak didiami pedagang-pedagang muslim dari berbagai negeri seperti Parsi, Arab, dan India. Kuala Perlak juga merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada di pesisir timur Aceh. Pelabuhan ini sudah muncul jauh sebelum lada menjadi komoditas ekspor andalan pada abad ke-18.
Sungai Perlak bermuara di Kuala Bekah yang berakhir di Selat Malaka, dengan hulu yang berasal dari Lokop. Sepanjang Sungai tersebut terdapat beberapa pelabuhan tempat kapal bersandar, seperti Pelabuhan Blang Bitra, Pelabuhan Balang Balo (Kampung Besar), Pelabuhan Pasir Putih, hingga ke arah Pelabuhan di Kawasan Semanah Jaya.
Kawasan di Perlak sebelum kedatangan Belanda adalah kawasan lada. Pusat penanaman lada di Perlak terdapat di kawasan Simpang Anas dan Alur Nireh. Para pekebun lada di pantai timur, termasuk Perlak, dapat bernegosiasi langsung dengan pembeli, berbeda dengan petani lada di pantai barat yang perdagangannya sangat dikontrol ketat dan dimonopoli oleh para pemimpin setempat. Sungai Perlak digunakan untuk mendistribusikan hasil lada dari pedalaman ke Pelabuhan untuk diperdagangkan.
Pada zaman Belanda (sekitar tahun 1930-an), Belanda memanfaatkan Sungai Perlak untuk mengangkut minyak bumi mentah dari pedalaman Perlak ke Kuala Beukah menggunakan kapal yang disebut “Kapal Shelly” oleh warga.
Saat ini, Makam Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah bukan hanya tempat peristirahatan terakhir seorang pendiri kesultanan Bandar khalifah Perlak, tetapi juga menjadi pusat spiritual dan budaya yang tetap hidup dan dihormati oleh masyarakat setempat. Tradisi kenduri dan kegiatan keagamaan lainnya yang dilaksanakan di makam ini menunjukkan betapa pentingnya pengaruh sejarah kesultanan perlak dalam kehidupan masyarakat.
Nisan Makam by ghozaliq on Sketchfab